- 1. Phobia pada Ketinggian (Acrophobia)
a. Pendekatan
Terapis melakukan rapport awal (membangun keakraban atau hubungan baik antara terapis dengan kliennya) yaitu dengan memberikan pertanyaan umum seperti menanyakan kabar klien, sudahkah klien makan, yang dilakukan klien sebelum datang ke terapis, dan lain-lain. Rapport sangat penting dilakukan agar dapat mencairkan suasana dalam melakukan proses konseling. Dengan adanya rapport, klien akan lebih nyaman untuk mengkomunikasikan masalahnya kepada terapisnya.
b. Menggali Informasi Mengenai Klien
Setelah dilakukan pendekatan berupa rapport, kemudian terapis berusaha untuk menggali informasi yang penting dari klien mengenai phobia yang dialaminya dengan menggunakan record (alat perekam). Terutama alasan yang membuat klien mendatangi terapis. Terapis haruslah menunjukkan rasa empati, hangat, terbuka, jujur, dan objektif dalam memandang keinginan klien. Hal itu penting agar klien merasa bahwa terapis memang ada untuk mendengarkan dan membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi klien. Terapis menanyakan mengenai apa yang menjadi penyebab/melatar belakangi phobianya terhadap ketinggian, sejak kapan klien merasa dia telah mengalami phobia terhadap ketinggian, sampai sejauh mana ketakutan itu dirasakan oleh klien, situasi yang seperti apa yang memicu klien merasakan ketakutannya terhadap ketinggian, dan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami situasi tersebut.
c. Memilih Terapi yang Tepat
Berdasarkan informasi yang telah didapatkan mengenai phobia terhadap ketinggian yang dialami klien, terdapat beberapa terapi yang dapat digunakan untuk menangani phobia terhadap ketinggian ini, yaitu desensitisasi sistematis, assertive training, modeling, Gestalt, terapi implosif, terapi aversi dan lain-lain.
Dari beberapa terapi yang memungkinkan akan membantu menyelesaikan masalah klien, terapis akan memilih terapi yang diharapkan tepat untuk penanganan phobia terhadap ketinggian ini.
Dalam kasus ini, terapi yang digunakan oleh terapis adalah desensitisasi sitematis.
d. Pelaksanaan Terapi
Terapi desensitisasi sitematis terdiri dari tiga tahap yaitu relaksasi, hierarki kecemasan dan mengkhayal stimus yang menyebabkan kecemasan dengan relaksasi. Alat-alat yang diguanakan dalam pelaksanaan terapi ini adalah ruangan yang nyaman, dengan kursi panjang, dan musik (tape, vcd, dll).
Pertama-tama, klien diminta untuk melakukan relaksasi dengan mengendurkan otot misalnya otot leher, wajah, tubuh, dan lain-lain sehingga klien merasa bahwa dia sudah merasa santai. Kedua, terapis menyusun situasi dan menggali sejauh mana hierarki kecemasan klien terhadap ketinggian dari yang paling ringan hingga yang paling berat.. Yang terakhir klien diminta untuk membayangkan stimulus yang membuat klien cemas terhadap ketinggian dan jika klien merasa cemas pada situasi tertentu, klien dilatih untuk berkonsentrasi pada situasi rileks.
e. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari pelaksanaan terapi. Evaluasi dapat dilihat berdasarkan record dari klien sebelumnya dan kemajuan apa yang terjadi setelah klien melakukan terapi.
● Harapan awal : terapi berhasil/ klien dapat menghilangkan ketakutan berlebihannya terhadap ketinggian.
● Setelah dilakukan terapi, subjek dapat mengurangi ketakutan berlebihannya terhadap ketinggian.
2. Kleptomania
a. Pendekatan
Pada tahap ini terapis melakukan rapport kepada klien, dimana tujuannya adalah agar klien merasa nyaman dan dapat bercerita tentang masalahnya dengan bebas sehingga terapi dapat berjalan dengan lancar. Terapis dapat memperkenalkan diri dulu, berbincang-bincang dengan klien mengenai hal-hal yang ringan, lalu bila klien sudah terlihat lebih nyaman terapis bisa menanyakan maksud dan tujuan klien datang ke tempat prakteknya.
b. Menggali Informasi Mengenai Klien
Setelah terapis mengetahui maksud dan tujuan klien berdasarkan hasil rappot, terapis bisa menanyakan latar belakang serta masalah yang sedang dialami klien dengan teknik wawancara dan observasi. Terapis menggunakan kertas dan alat tulis untuk mencatat hasil observasi klien berdasarkan tingkah laku klien saat wawancara dan terapis juga menggunakan recorder untuk merekam hasil wawancara.
c. Memilih Terapi Yang Tepat
Setelah klien mengemukakan semua masalah yang dihadapi, terapis dapat memilih terapi yang tepat untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh klien.Kleptomania diartikan sebagai bentuk gangguan impuls yang tidak dapat dikendalikan oleh individu untuk memiliki barang-barang yang dilihatnya dengan cara mencuri. Gangguan ini dilakukan secara berulang dengan berbagai alasan yang tidak rasional untuk memiliki benda-benda tersebut. Ciri penting dari kleptomania adalah kegagalan rekuren untuk menahan impuls untuk mencuri benda-benda yang diperlukan untuk pemakaian pribadi atau yang memiliki arti ekonomi. Benda-benda yang diambil seringkali dibuang, dikembalikan secara rahasia, atau disimpan dan disembunyikan. Orang dengan kleptomania biasanya memiliki uang untuk membayar benda yang mereka curi secara impulsif.Setelah mengetahui informasi mengenai kleptomania, salah satu terapi yang bias digunakan adalah rational emotive therapy. Terapi ini memiliki kesamaan dengan cognitive-behavioral therapy dalam arti menitikberatkan berpikir, menilai, memutuskan, menganalisi, dan bertindak.
d. Pelaksanaan Terapi
Untuk menghilangkan kebiasaan klien mengambil barang-barang yang ia sukai tanpa ijin, terapis memberikan perlakuan covert sensitization, dimana individu direkam secara diam-diam ketika melakukan pengutilan, hasil rekaman tersebut akan diperlihatkan kepada individu dengan pengarahan konsekuensi sosial terhadap perilakunya itu. Pada tahap ini terapis membutuhkan ruangan yang berisi barang-barang yang mungkin diambil klien serta cctv.Setelah itu klien diajarkan aversion therapy yang merupakan sesi dimana klien diajarkan untuk mengatur pernafasan secara tepat, menahan nafas untuk beberapa saat ketika rasa ketidaknyaman muncul yang diakibatkan oleh dorongan-dorongan untuk mengambil barang-barang tersebut kembali muncul.
e. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari pelaksanaan terapi. Evaluasi dapat dilihat berdasarkan record dari klien sebelumnya dan kemajuan apa yang terjadi setelah klien melakukan terapi.
Harapan awal : klien berharap tidak lagi mengambil barang-barang yang bukan miliknya, sehingga ia tidak lagi merugikan orang lain.
- Saat melakukan terapi, klien merasa sulit untuk menahan diri mengambil barang di ruang terapi, namun klien belajar untuk mengatur nafas yang diajarkan oleh terapis hingga kecemasan yang ia rasa tidak lagi ada.
- Setelah dilakukan terapi,, klien tidak lagi mengambil barang-barang yang bukan miliknya.
3 Gangguan Kepribadian Paranoid (Paranoid Personality Disorder)
a. Pendekatan
Tahap ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menciptakan hubungan baik dengan klien agar klien dapat terlibat langsung dalam proses konseling dan terapi, dan dapat menumbuhkan adanya kepercayaan, keyakinan, dengan didasari atas keterbukaan dan kejujuran atas semua pernyataan klien dan konselor dalam proses terapi. Pada tahap ini diharapkan akan terjalin hubungan ketergantungan pada terapis, yaitu bagaimana terapis menggunakan dirinya sebagai sosok pribadi yang dapat dijadikan contoh.
b. Menggali Informasi Mengenai Klien
Dalam tahap ini terapis berusaha mencari data masalah yang dihadapi klien sehingga kita dapat memahami apa-apa yang dialami klien dan kesulitan masalah yang dihadapinya. Dan mengadakan pendataan masalah dan mencari tahu latar belakang terjadinya masalah, seperti pengalaman yang dialami pada sebelum dan setelah mengalami masalah, dan penilaian tentang dirinya dan penilaian tentang kondisi lingkungan yang berhubungan dengan masalah yang dialami.
c. Memilih Terapi Yang Tepat
Pada tahap ini, memberikan beberapa pilihan penyelesaian dan pemecahan masalah, disini diharapkan klien sendiri yang memilihnya. Terapi apa yang ingin dipilih oleh klien. Setelah beberapa alternatif pemecahan masalah klien terkumpul, kemudian dilakukan pengujian pada setiap alternatif tersebut. Setelah jelas berbagai masalah terkumpul, kemudian mengambil dan menetapkan pemecahan masalah yang mana akan dipilih untuk dilaksanakan.Berdasarkan informasi yang diberikan klien, klien mengalami gangguan kepribadian paranoid, yaitu perasaan curiga yang pervasif dimana kecenderungan untuk menginterpretasi perilaku orang lain sebagai hal yang mengancam atau merendahkan. Orang dengan gangguan ini sangat tidak percaya pada orang lain, dan hubungan sosial mereka terganggu karenanya. Maka terapi yang tepat adalah terapi dengan teknik kognitif –behavioral .
d. Pelaksanaan Terapi
Terapi dengan teknik kognitif – behavioral bertujuan untuk mendorong tingkah laku yang lebih adaptif, untuk mengembangkan keterampilan sosial yang lebih efektif, dan untuk menggantikan cara berpikir yang salah dengan alternatif rasional, dengan cara menggabungkan metode penanganan kognitif dan behavioral.
e. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari pelaksanaan terapi. Evaluasi dapat dilihat berdasarkan record dari klien sebelumnya dan kemajuan apa yang terjadi setelah klien melakukan terapi.
Evaluasi dilakukan dalam tahapan yang sistematis, yaitu :
● Harapan awal : terapi berhasil atau klien dapat menghilangkan gangguan kepribadian yang dihadapinya.
● Setelah dilakukan terapi, subjek dapat mengurangi perilaku-perilaku yang menunjukkan adanya kecemasan.
created by: Fransisca Nurmalita/ 4pa01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar